Alkisah ada seorang perempuan dan seorang laki-laki yang sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, bersekolah bersama, bermain bersama. Sampai si laki-laki ini pergi untuk menempuh sekolah pilot.
Beberapa tahun kemudian, saat mereka berdua sudah tumbuh dewasa, mereka dipertemukan lagi. Mereka mengenang masa-masa kecil mereka, mengobrol hingga larut malam, dan akhirnya... mereka jatuh cinta. Karena sebenarnya dari dulu mereka sudah saling menyayangi.
Tidak butuh waktu lama hingga mereka menikah, dan sang istri pun hamil. Mereka girang bukan main, mereka adalah pasangan yang sempurna. Hingga terjadilah perang dunia kedua, dimana tenaga sang suami dibutuhkan. Mau tidak mau ia harus menuruti panggilan negara.
Dengan sedih sang istri mengantar suaminya ke stasiun, memberikan sebuah kertas berpotongan hati warna merah, dan berpesan kepada sang suami untuk menjaga dan mengembalikannya. Dan ia ingat betul, hari itu tepat tanggal 14 Februari. Hari valentine.
Setelah beberapa bulan berlalu, mereka masih rutin berkirim surat. Hingga sang istri melahirkan, dan tak lama setelah itu... Sang suami dinyatakan hilang dalam misinya di perang tersebut.
Sang istri sedih bukan main. Namun karena keyakinannya, ia terus berpikiran bahwa menghilang bukan berarti meninggal. Ia terus menjalani hari-harinya dengan ceria, merawat anaknya hingga besar. Bahkan setelah 60 tahun berlalu dan ia sudah mempunyai cucu.
Dan apa kalian tau, bahwa selama 60 tahun itu, tepat di hari valentine, ia selalu datang ke stasiun, berdandan rapi, menunggu suaminya datang dan duduk di bangku yang sama? Ia terus menunggu hingga malam, dan tahun ke tahun selalu sama. Nihil. Lalu ia selalu pulang dan berujar, "Jika tidak sekarang, pasti tahun depan."
Hingga acara berita lokal tertarik pada kisahnya ini dan menawarkan untuk membantunya mencari suaminya yang dinyatakan hilang itu. Dengan fasilitas yang ada, akhirnya ditemukanlah seseorang yang mengaku orang terakhir yang melihat sang suami.
Lalu mereka dihubungkan lewat webcam, dan mulailah ia bercerita. Bahwasanya sang suami dan seorang rekannya sama-sama terluka, luka berat, dan mereka di temukan si orang ini di hutan belantara. Mereka berdua diobati, namun sayangnya kereta kecil mereka hanya cukup untuk mengangkut satu orang saja dari keduanya untuk dikembalikan ke negara asal mereka, yaitu Amerika. Dengan baik hatinya sang suami itu menyuruh mereka untuk menyelamatkan partnernya yang sama-sama terluka tadi, meskipun ia tahu resikonya sangat kecil baginya untuk kembali pada sang istri lagi jika ia tidak menggunakan kesempatan ini. Namun ia tepis rasa egoisnya itu, didulukanlah sang partner tadi.
Hingga sesaat setelah itu, sang suami sudah kembali sehat namun perang belum juga usai. Ia mencium bau-bau musuh mendekat, lalu ia dan segenap tentara lainnya menembaki musuh. Naasnya ada seorang anak kecil yang ada di situ, dan dengan luarbiasanya si suami tadi melindungi anak kecil ini dari serangan. Namun justru ia yang terkena tembak...
Di akhir hayatnya ia masih sempat menyuruh kawannya untuk menyelamatkan anak kecil tadi. Ia memegang potongan hati yang diberi istrinya dulu, diciumnya kertas itu, lalu ia berujar, "Maaf, mungkin cuma hatimu yang akan kembali."
Dan setelah mendengar cerita itu, sang istri menangis, putus asa, bahwa harapannya selama ini tak ada artinya. Tak lama setelah itu jasad suaminya ditemukan, dan tim kepolisian mendatangi rumahnya dan berujar, "Maafkan kami untuk pemberitahuan duka ini, Bu. Jasad suami anda sudah ditemukan, dan barang-barang ini yang kami lihat sedang bersamanya," sambil mengembalikan sepotong kertas berbentuk hati yang sudah lusuh dan robek-robek.
"Suami anda dianugerahi pangkat tertinggi dalam bidang pembelaan negara, Bu. Selamat..."
Lalu saat pemakaman jasad suaminya itu, diadakan upacara militer yang sangat khidmat, pemberian pangkat tertinggi itu. Sang istri hanya bisa memeluk peti mati suaminya, menangis, namun juga tersenyum. Bahwa sang suami menepati janjinya, untuk mengembalikan hati sang istri.

copas from http://purplescrapbook.blogspot.com/
0 comments:
Post a Comment